Monday, June 8, 2015

Sebuah diskusi di De Vries. 30/4/2015


Diskusi pada hari ini bukanlah diskusi kami biasanya.  Kali ini kami mengikuti diskusi bersama sebuah tokoh terkenal, namanya Acil Bimbo.  Bapak Acil ini, ada untuk mengajak kita berdiskusi mengenai budaya Indonesia yang makin lama kelihatannya makin tersingkir di dalam negara sendiri.  Saat mau masuk kedalam gedung diskusi, kita bisa melihat-lihat dulu berbagai barang yang dipajang disana.  Benda-benda itu menceritakan tentang bank saat dulu.  Disana juga ada  gambar timeline dari zaman ke zaman.  Tentang ibu Inggit Garnasih, tentang laihrnya Sarekat islam, Tjokroaminoto, dan lain-lain.  Di lantai bawahnya juga ada banyak foto-foto masa lalu.  Foto tentang masyarakat, foto keterangan, foto kenangan,dan lain-lain.  Di dekat tempat diskusi, kita disuguhi banyak informasi tentang alun-alun.  Rute untuk berkeliling Bandung kota lama, sejarahnya, dan lain-lain.
Saat sampai waktunya untuk berdiskusi, kita semua langsung mencari tempat duduk.  Banyak yang datang pada acara ini, jadinya ada juga yang berdiri.  Saat baru dimulai, diperlihatkan film kecil tentang orang-orang yang sedang membersihkan tugu-tugu kecil di pinggir jalan.  Usaha yang mereka berikan memang sangat bagus.  Dari yang asalnya sudah kotor dan hampir tidak kelihatan, sekarang jadi bagus dan kinclong, baru.  Akhir dari film itu menandakan awal mulanya diskusi kita.  Sebenarnya kalau mau dibilang diskusi itu tidak terlalu masuk.  Lebih ke arah pak Acil yang sedang memberitahu kita tentang rapuhnya budaya kita sekarang ini.  Bagaimanapun, ini membuatku mendapatkan pengetahuan baru, dan bisa berpikir lebih jauh tentang apa yang sebaiknya dilakukan Indonesia apabila mendapatkan hal yang seperti ini lagi. 

Yang paling bagus menurutku berasal dari bapak Hernawan, atau siapa dia itu, aku lupa.  Tapi poinnya sangat bagus.  Karena menceritakan tentang negara Indonesia yang terlalu menerima budaya barat.  Seharusnya kita bisa seperti negara-negara asia lainnya yang bisa mengembangkan industri film negara sendiri.  Misalnya Korea, mereka membuat hukum yang menyatakan kalau ada 1 film barat yang masuk ke Korea, 2 film Korea harus dibuat.  Dengan begini, lama kelamaan orang-orang pasti akan menonton film Korea sampai-sampai film barat porsinya jauh lebih kecil daripada film Korea.  Indonesia harusnya juga bisa seperti itu.  kita harus bisa mendukung industri kreatif negara sendiri.  Apalagi yang mendukung budaya kita.  Kita bisa seperti negara-negara asia tadi, hanya saja start kita yang agak terlambat.  Tapi aku yakin, pada suatu hari di masa yang akan datang, industri film Indonesia bisa sama majunya dengan industri-industri negara lain.

No comments:

Post a Comment